MTPJ 9-15 Juni 2013

0
1505

TEMA MINGGUAN:
Pendidikan sebagai sarana kesaksian”

TEMA BULANAN:
“Gereja yang misioner dan transformasi sosial”

Bahan Alkitab: Ulangan 6:1-9; Matius 28:19-20

 

ALASAN PEMILIHAN TEMA
     Pendidikan merupakan topik yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan manusia. Secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses belajar-mengajar, memberikan dan menghasilkan pengetahuan dan keahlian. Uraian dalam Ensiklopedi Pendidikan menyatakan bahwa pendidikan dapat diartikan “semua perbuatan danusaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kcakapannya, serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”. Dengan pengertian di atas, maka setiap orang atau masyarakat/lembaga pasti terlibat di dalam pendidikan baik itu formal maupun informal. Gereja sebagai lembaga maupun gereja yang menunjuk pada setiap anggotanya bahkan setiap keluarga Kristen pasti terhisap di dalamnya untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana kesaksian.

 

PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
     Ulangan 6:1-9 adalah bagian dari pidato kedua Musa dengan penekanan mengenai kasih kepada Allah sebagai dasar kehidupan. Ayat 4 diawali dengan kata perintah “dengarlah” (=lb.shema). Dalam tradisi Yahudi, ayat 4 ini disebut sebagai pengakuan iman kepada Tuhan, Allah yang Esa, sebagai satu-satunya Allah yang layak disembah. Pengakuan ini berisikan perintah untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan (ayat 5) dan kasih yang dimaksudkan ini harus diperhatikan dan dinyatakan dalam seluruh keberadaan hidup orang Israel (ayat 6). Pengakuan ini wajib diucapkan oleh orang Yahudi dua kali sehari, yaitu diwaktu pagi dan petang dalam ibadah di sinagoge.
     Dalam ayat 7, pemakaian kata kerja “mengajarkannya berulang-ulang” (=lb.shanan) dan “membicarakannya” menunjukkan betapa serius hal ini ditekankan. Penekanan pentingnya mengajarkan berulang-ulang bertujuan agar mereka yang diajar dapat mengingat, memahami dengan jelas dan melakukannya. Siapa yang diajar dan yang diajak bicara? Anak-anak! Menarik untuk dicermati bahwa pemberlakuan pengakuan iman tersebut diletakkan dalam konteks keluarga, dengan orangtua sebagai “pengajar” dan anak-anak sebagai “yang diajar”. Ini menunjukkan bahwa orangtua yahudi memiliki tugas dan tanggungjawab dalam pendidikan anak-anak mereka, pertama-tama adalah pendidikan rohani. Ditambah lagi, perccakapan dan pengajaran itu harus dilakukan dalam berbagai macam keadaan, baik saat sedang duduk di rumah, dalam perjalanan, saat berbaring, saat bangun. Intinya adalah dalam segala suasana dan di setiap kesempatan.
     Perintah untuk mengasihi Tuhan tidak Tuhan tidak hanya dibicarakan dan diajarkan, tapi juga dijadikan sebagai simbol (ayat 8-9). Simbol dipergunakan untuk menunjukan atau mengingatkan seseorang atau orang banyak pada identitas atau peristiwa tertentu. Dalam hal ini tindakan simbolik yang dilakukan orang Yahudi, yaitu menaruh ayat-ayat itu di dalam kantong kulit kecil dan diikatkan pada lengan dan dahi mereka. Ini disebut sebagai Mezuza.
Naskah Matius 28:19-20 dalam pengertian bahasa aslinya hanya mengandung satu kata perintah (imperatif), yaitu: “jadikan murid” (=Yun, matheteusate), sedangkan kata-kata “pergilah”, “baptislah”, dan “ajarlah” merupakan kata berbentuk partisip (=kata sifat yang berasal dari kata kerja) berfungsi menjelaskan tentang kata kerja utama di dalam sebuah kalimat. Dengan demikian, perintah Yesus yang biasanya juga dikenal dengan Amanat Agung (Great Commision) di atas dapat dimengerti bahwa penekanan utama deari bagian ini adalah “menjadikan murid Yesus”. Sedangkan “pergi”, “membaptis” dan “mengajar” adalah hal-hal yang harus dilakukan untuk bisa menjadikan murid. “Mengajar” dipahami bukan hanya semata-mata menanamkan perintah atau ketetapan kepada para murid tapi juga berhubungan dengan belajar, artinya untuk bisa mengajar maka seorang pengajar perlu belajar. Jadinya ada proses belajar dan mengajar untuk “melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”.

     Orangtua dianggap paling bertanggungjawab dalam pendidikan anak-anak karena mereka adalah orang yang terdekat. Karena itu orangtua adalah pengajar, namun sambil mengajar harus terus belajar, belajar “memuridkan diri” sedemikian rupa sehingga kemuridan orangtua dapat “memuridkan” anak-anaknya.

 

Makna dan Implikasi Firman

     Dari uraian di atas kita mendapatkan gambaran bahwa sejatinya, sejak jaman Israel, keluarga adalah pemegang kunci penting mengenai pendidikan Kristen pada anak-anak secara informal. Bangsa Israel menjadikan kasih kepada Allah sebagai objek utama percakapan dalam keluarga. Jika kita baca kembali ayat di atas itu, kita menyadari bahwa Tuhan ingin kita mengasihi-Nya dengan “segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Ayat ini juga diulang kembali oleh Yesus sebagai bagian dari hukum yang terutama. KataNya, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Mengasihi Tuhan adalah mengasihi dengan segenap dimensi kehidupan kita. Mengasihi Tuhan seperti itulah yang harus diajarkan kepada anak-anak kita. Bagaimana dengan keluarga kita? Seiring dengan perkembangan jaman, ruang dialog dalam keluarga justru dipenuhi dengan hal-hal lain. Bukan lagi orangtua yang bercerita kepada anak, namun televisi yang sekarang menjadi pencerita. Bukan dialog mengenai kasih kepada Tuhan sebagai hal dominan dalam percakapan dalam ruang keluarga kita, melainkan kita membiarkan otak anak-anak kita dalam posisi diam untuk dimasuki ide-ide dari layar televisi. Istilah karenanya, bukan orangtua yang “memuridkan” anak-anak, tetapi justrus televisi yang “memuridkan” anak-anak, bahkan keluarga kita.

     Ketika kita berkaca kembali dengan kenyataan hidup yang ada sekarang ini, gambaran yang kita terima adalah gambaran yang tidak indah. Kehidupan dan tantangan bagi anak-anak kita lebih ganas dan berat. Era globalisasi dan kemajuan-kemajaun teknologi membuat kontrol dan pengawasan orang tua menjadi lebih sukar. Tugas mengajar/mendidikan semakin mendapatkan tantangan yang lebih berat. Karena itu firman Tuhan mengatakan bahwa orangtua harus mendidik anak-anak di rumah ataupun di jalan, ketika sedang berbaring ataupun bangun. Ini menunjukkan bahwa kegiatan mendidik harus dikerjakan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Mulai saat di rumah sampai waktu sedang di jalan dan sampai kembali ke rumah, orangtua harus mengajar dan mendidik, bahkan saat sedang berbaring sampai bangun dan sampai berbaring kembali, harus mengajar dan mendidik. Ternyata mendidik anak bukanlah semata-mata menyediakan sepotong waktu dalam kehidupan orangtua untuk secara khusus mendidik mereka. Bagi orang tua, mendidik anak adalah suatu kegiatan penuh, 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, tidak ada hari libur.

     GMIM selaku lembaga selama ini secara forma telah turut terlibat dalam proses belajar-mengajar, memberikan dan menghasilkan pengetahuan dan keahlian dari generasi ke generasi sejak Injil masuk ke tanah Minahasa 182 tahun lalu. Minggu ini kita sedang dalam perayaan HUT ke-182 Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen GMIM, sekedar mengingatkan bahwa dalam perjalanan panjang ini GMIM sementara mengelola 15 PAUD, 483 TK, 377 SD, 128 SMP, 38 SMA, 14 SMK, 3 SLB, 1 Universitas, 1 Akademi. Dalam keterbatasan dan pergumulan tidak dipungkiri bahwa sumbangsih gereja bagi dunia pendidikan tidak dapat lagi dihitung dengan angka-angka, tapi sesungguhnya disyukuri sebagai karya Tuhan Allah bagi tanah Minahasa dan orang-orang yang mendiami tanah ini.

     Keluarga Kristen (dalam hal ini orangtua) atau gereja sebagai lembaga (GMIM) melalui sekolah-sekolah melakukan tugas belajar-mengajar bukan semata-mata kepentingan sendiri, tapi juga kepentingan banyak orang. Ketika keluarga Kristen mendidik anggota keluarganya dan sekolah menyelenggarakan proses pendidikan dengan baik dan bertanggungjawab maka akan menghasilkan generasi yang memiliki SDM berkualitas dalam berbagai segi. Dengan demikian pendidikan formal maupun formal ini menjadi kesaksian yang hidup bagi dunia dan sekitarnya. Melalui proses pendidikan maka “mengajar” sebagai salah satu tindakan dalam rangka “menjadikan semua bangsa murid Yesus” (=amanat agung) dapat menghasilkan, “buah-buah”, yang berkualitas karena mampu “memuridkan” anak-anaknya dan anak didiknya. Melaksanakan amanat agung bukan menyuruh kita “menaklukkan jiwa”, “mengkristenkan orang”, melainkan menyuruh kita bersaksi, yaitu memuridkan diri sedemikian rupa sehingga kemuridan kita itu juga memuridkan orang lain.

 

PERTANYAAN DISKUSI

  1. Hal-hal apa yang mendasari pentingnya pendidikan menurut Ulangan 6:1-9?
  2. Apa hubungan “mengajar” dengan maksud “jadikan murid” dalam Matius 28:19?
  3. Bagaimana pengalaman saudara mendidik anak di keluarga? atau mendidik anak di sekolah? (pilih salah satu)

NAS PEMBIMBING: 3 Yohanes 1:14

POKOK-POKOK DOA

  • Orangtua sebagai penyelenggara pendidikan dalam keluarga.
  • Pemerintah sebagai penanggungjawab pendidikan nasional.
  • Gereja (GMIM) sebagai penyelenggara pendidikan.

TATA IBADAH YANG DIUSULKAN: Hari Minggu Bentuk II

NYANYIAN YANG DIUSULKAN:
Kemuliaan bagi Allah: NNBT No.1
Doa Penyembahan: KJ No.2:1,2
Pengakuan Dosa: NKB No.14
Janji Anugerah Allah: NKB No.15,1,3
Puji-pujian: KJ No.13:1,4
Pembacaan Alkitab: NNBT No.7
Persembahan: KJ No.403
Nyanyian Penutup: NKB No.194

ATRIBUT YANG DIGUNAKAN:
Warna dasar hijau dengan simbol salib dan perahu di atas gelombang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here