Perlu Penanganan Lengkap dan Komprehensif, Pemuda GMIM Sikapi Masalah LGBT.
GMIM.or.id – Maraknya komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) memang menjadi topik hangat saat ini. Bukan hanya di Sulawesi Utara, tapi di Indonesia khususnya. Bicara tentang LGBT, tentunya masyarakat akan terfokus pada penyimpangan seksual. Demikian ungkapan Ketua Komisi Pelayanan Pemuda Sinode (KPPS) GMIM Pnt. Toar Ulfers Pangkey, MT mengenai sikap Gereja terhadap komunitas LGBT.
Ia mengatakan, Komisi Pelayanan Pemuda Sinode GMIM banyak berdiskusi mengenai komunitas LGBT tersebut. Bahkan, pada tahun 2015 lalu mengadakan penelitian tentang komunitas LGBT. Pangkey mengungkap, dari penelitian tersebut, diperoleh hasil bahwa keberadaan LGBT di Sulawesi Utara, khususnya di daerah pelayanan GMIM, didapati penggiat dalam komunitas LGBT sudah semakin banyak. “Kami juga menerima informasi ada beberapa pelayan khusus yang ternyata penggiat didalamnya (LGBT). Selain itu, sudah ada organisasi bentukan yang akan memperjuangkan dilegalkannya komunitas LGBT,” beber Pangkey.
Ini menjadi catatan kritis juga bagi Pemerintah, selain Gereja. Komunitas LGBT harus ditangani serius. Perlu diarahkan. “Kalau kita melihat dari sudut pandang agama, hal ini tidak dibenarkan,” ujar Pangkey . Menurutnya, masalah LGBT perlu diketahui dengan jelas siapa saja penggiat LGBT ini, diajak berdiskusi dan penanganannya harus lewat psikiater. Jika dibiarkan, efeknya sangat tidak baik. “Tidak mungkin, jika misalnya pria dengan pria, atau wanita dengan wanita disahkan sebagai pasangan “suami-isteri”. Menikah dengan sesama jenis, apakah mereka dapat menghasilkan keturunan?,” tanya Pangkey.
Ditambahkannya, di dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, ditunjukkan bagaimana seharusnya paradigma orang Kristen terhadap Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT). Alkitab secara tegas menunjukkan bahwa homoseksualitas adalah dosa.
Sekalipun Alkitab menyatakan bahwa para penggiat LGBT jangan diperlakukan dalam ketidakadilan seperti yang terjadi akhir-akhir ini, tapi jangan menjadikan hal tersebut sebagai bentuk simpati bahkan mendukung disahkannya keberadaan komunitas tersebut.
Dari sudut pandang lainnya, pernikahan sesama jenis atau rumah tangga yang dikepalai oleh pasangan sesama jenis, dianggap tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan hukum yang lazim diberikan kepada pasangan lawan jenis yang menikah. “Perlunya penanganan yang lengkap dan komprehensif dari pihak Gereja dan Pemerintah, dan para penggiat supaya tepat sasaran dalam menangani komunitas LGBT ini, merupakan salah satu cara yang harus ditempuh,” tutupnya.
Diketahui, tahun 1982, kelompok hak asasi gay didirikan di Indonesia. Pergerakan gay dan lesbian di Indonesia adalah salah satu yang tertua dan terbesar di Asia Tenggara, dimana pada tahun 2006 di Yogyakarta, merupakan tempat diadakannya pertemuan puncak hak LGBT.
(Penulis :Frangki Noldy Lontaan. Editor: Pdt. Janny Ch. Rende, M.Th)