Pada hakikatnya kehidupan pelayanan gereja tidak bisa terlepas dari liturgi. Kehidupan liturgis pelayanan gereja tidak bisa terlepas juga dari simbol-simbol dan atribut gereja. Gereja Masehi Injili di Minahasa sebagai Gereja bertradisi Reformed (reformasi) menggunakan banyak simbol dan atribut gerejawi yang sarat dengan nilai-nilai iman.
Aturan Tentang Atribut (yang telah diterbitkan menjadi satu buku) adalah implementasi dari Tata Gereja 2007 Tata Dasar Bab X pasal 27 ayat 1-2 di mana dikatakan “GMIM mempunyai dan menggunakan atribut sebagai tanda kebersamaan dalam persekutuan, kesaksian, pengajaran dan pelayanan. Atribut GMIM berupa lambang, stempel, atribut ibadah, papan nama, pakaian jabatan dan lain-lain yang diatur oleh Badan Pekerja Majelis Sinode.”
Simbol dan atribut adalah lambang GMIM yang berhubungan dengan perlengkapan atau benda khusus, yang berhubungan dengan nilai iman kristiani dalam melaksanakan tugas pelayanan gerejawi sekaligus secara institusional gerejawi berhubungan dengan identitas institusi dan dengan pangkat atau kedudukan gerejawi dari orang yang menggunakannya (Pelayan Khusus atau orang yang ditunjuk untuk melayani). Simbol dan atribut tidak bisa dilepaskan dari seni. Seni, atribut dan simbol merupakan jembatan, alat, sarana di mana yang tidak kelihatan, diobyektifikasi (yang tidak kelihatan itu mencari tempat dalam obyek kelihatan) dan nilai tidak kelihatan itu disimpan dalam obyek khusus dan sakral/kudus untuk kemudian dihidupkan lagi dalam momen liturgis.
Dalam Alkitab, simbol hanyalah alat saja dan tidak dapat disembah (Kel. 20:3-6) tetapi simbol itu perlu karena mengingatkan perbuatan Allah yang menyelamatkan. Contoh: Betel, batu, mezbah yuang didirikan bagi Allah (Kej.35:1). Istilah-istilah seperti “oth”, “mopheth”, “semeion”, dalam Alkitab yang artinya tanda menunjuk pada eksistensi kuasa ilahi dan berhubungan dengan mujizat (Yos. 24:17; Mat. 12:38; Yoh. 2:18; Kis. 2:22) dan di dalam tanda itu diimani ada kehadiran Tuhan (Kel. 3:2). Simbol dan atribut dapat menunjuk pada benda, alat, warna, dst., yang memiliki dan menyimpan nilai. Roti adalah kehidupan, anggur adalah kesukacitaan, api adalah simbol kehadiran Allah yang sifatnya memurnikan (Kel. 3:2-5); minyak (urapan) dalam Alkitab (Kel. 29:7; 40:9) menunjuk pada proses pengudusan (Ibr. “Qadosh”; Inggr. “set apart” = disendirikan) bagi seseorang untuk mene-rima tanggung jawab ilahi dalam komunitas orang percaya. Begitu juga warna-warni dalam Alkitab yang kemudian dalam liturgi gereja. Warna putih, jubah putih menunjuk pada “mengenakan” Kristus (Ef. 4:24; Kol. 3:10) dan kasih karunia Allah. Warna putih juga berhubungan dengan baptisan (Roma 6:1-4). Warna putih juga menunjuk pada kedatangan penebusan itu (Natal) dan peristiwa kemenangan (Paskah). Ungu menunjuk pada keagungan pengorbanan Kristus, penyesalan dan pengakuan dosa serta kerendahan hati. Hijau menunjuk tanda kehidupan, pertumbuhan, kehidupan dan pengharapan. Merah menunjuk pada darah, api digunakan pada hari raya Pentakosta dan juga pekerjaan misioner gereja di mana darah orang martir/syahid demi Injil Kristus. Warna-warna ini sebagai atribut-atribut gereja yang terlihat dalam penggunaan liturgi gereja.
Simbol-simbol yang ada dalam Alkitab seperti yang dijelaskan di atas kemudian dalam perjalanan sejarah gereja menjadi atribut gerejawi dengan disain seni yang unik. Atribut gereja itu kemudian mendapat tempat dalam tradisi gereja kita yaitu tradisi reformasi. Atribut gereja itu memiliki nilai-nilai dogmatis (iman) yang berfungsi untuk menyatakan kesaksian iman oikoumenis dan tradisi Reformed. Atribut dalam pelayanan GMIM mencakup perangkat liturgis dalam ibadah (kain mimbar), yang dikenakan oleh “pejabat gerejawi” (toga, stola pelsus) atau atribut institusional (lambang GMIM, kompelka BIPRA, Cap, Papan Nama).
Kita bersyukur kepada Tuhan Allah Tritunggal bahwa dalam pelayanan GMIM, sejak GMIM menjadi gereja yang mandiri pada tanggal 30 September 1934, di mana Ds. A. Z. R. Wenas dan para pendeta pribumi lainnya telah merancang atribut dan simbol GMIM. Simbol dan atribut gerejawi telah digunakan untuk mengingatkan akan dasar iman gereja dalam menumbuh-kembangkan iman jemaat.
Terobosan fundamental tentang penguraian dan penjemaatan atribut gereja bertradisi Reformed telah dimulai oleh Pdt. DR. A. F. Parengkuan, M.Th., dan pembahasan serta penetapannya dalam Sidang Badan Pekerja Sinode Lengkap (SBPSL) ke-8, Tahun 1997, di Taraitak, Wilayah Langowan II. Kemudian oleh Sidang Sinode Istimewa khusus Tata Gereja GMIM di Sonder tahun 1999 dimasukkan sebagai bagian dari Tata Gereja GMIM tahun 1999 (Peraturan Tentang Atribut). Dalam evaluasi pelayanan selama lebih dari satu dekade terakhir yang dilakukan oleh para Pendeta GMIM di jemaat-jemaat serta para pelsus lainnya dengan memperhatikan akan dasar-dasar teologis iman kristiani serta memperhatikan kondisi aktual dalam hidup berjemaat maka perlu ada penajaman dalam pengertian dan penggunaan atribut gereja.
Dalam Sidang Majelis Sinode ke-75 di Tondano tahun 2010 telah diterima Petunjuk Pelaksanaan Tentang Atribut. Selanjutnya, setelah juklak tersebut dikaji, maka ada beberapa hal yang diputuskan dalam Sidang Majelis Sinode Tahunan ke-25 tahun 2012 di Ratatotok seperti penggunaan Toga Ungu Tua oleh para Pendeta dalam memimpin ibadah dalam enam Minggu Sengsara. Penggunaan stola warna merah dengan salib warna kuning yang juga dapat dipakaikan kepada anggota sidi jemaat dalam memimpin ibadah, serta penanggalan stola karena alasan tertentu. Selain itu ada penjelasan lagi tentang penggunaan stola menurut tahun gereja.
Tuhan Yesus Kepala Gereja dan Juru Selamat dunia dan melalui pekerjaan Roh Kudus kiranya terus menolong kita untuk hidup dalam ketaatan dan memberi keberanian dalam menyampaikan Injil keselamatan kepada banyak orang.