GMIM.or.id – Saya Pendeta Emiritus (pensiun) sudah dua tahun lebih. Demikian kalimat awal yang diucapkan Pdt. Marthin Luther Rindengan, S.Th ketika bercakap-cakap dengan www.gmim.or.id dalam suatu hajatan di Jemaat GMIM Sion Tounelet Wilayah Sonder, Sabtu (23/01/2016).
Pdt. Marthin Luther Rindengan, S.Th melayani di GMIM sejak Februari 1969, dan bersamaan dengan itu juga melayani ibadah KKR. “Waktu itu, belum seperti KKR sekarang ini. Berbicara tanpa sound system. Jadi, suara harus extra keras dan jelas sehingga bisa didengar yang hadir di KKR tersebut,” ungkap Rindengan ketika menceritakan sedikit pengalaman pelayanannya. “Jika sekarang ada KKR (KPI) untuk anak sekolah minggu, saya sangat mensupport terobosan Komisi Pelayanan Anak Sinode GMIM yang dimulai sejak tahun 1999 ini,” kata Rindengan ketika ditanyai soal KPI Anak GMIM. “KPI anak sekolah minggu sah-sah saja. Bukankan ini menandakan bahwa pelayanan GMIM makin hari makin bertumbuh?,” kata Rindengan dengan nada bertanya.
Marthin Luther Rindengan yang diteguhkan sebagai Pendeta GMIM pada tahun 1981 mengungkap, pelayanan di Tahun 80-an tentu berbeda dengan pelayanan yang sekarang yang semakin maju dan semakin mudah. “Di masa pelayanan kami, bukanlah suatu hal yang aneh, bila ditemui empat orang Pendeta melayani satu Wilayah yang terdiri dari 17 jemaat. Contohnya, saat saya melayani di Wilayah Manado Utara dan Wilayah Manado Barat Daya, yang saat itu belum dimekarkan” ungkapnya seraya menyebut tidak jarang dalam satu hari pelayanan mempergunakan empat jenis liturgi, yaitu perjamuan, baptisan, pertunangan, dan pernikahan. Bandingkan deng skarang, yang so tabobale, kata Rindengan dalam dialek Manado. “Satu jemaat ada empat bahkan enam Pendeta, belum lagi ditambah dengan Guru Agama,” ungkapnya. Mari kita lihat ini sebagai pertumbuhan pelayan dan pelayanan GMIM, bukan sebagai bahan pembanding. “Jika mau berkaca pada masa lalu, adopsilah semangat dan tekad para Pendeta masa lalu, yang begitu berapi-api melayani jemaat sekalipun diri sendiri masih ada kebutuhan yang belum terpenuhi,” beber Rindengan.
Rindengan mengungkap, pertumbuhan pelayan dan pelayanan GMIM yang semakin maju tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi dari warga GMIM itu sendiri. “Di jaman kami, perkunjungan pelayanan ke jemaat-jemaat lebih banyak dilakukan dengan berjalan kaki. Kalaupun ada yang lebih nyaman, kami menggunakan roda sapi atau roda kuda,” kata Rindengan, seraya tersenyum mengingat masa pelayanannnya di usia muda. “Sekarang, baru mau mendaftar sebagai vikaris Pendeta di Kantor Sinode, so bawa-bawa oto Inova. Baru mo mendaftar sebagai vikaris so deng oto,” kata dia seraya mengungkap di masa pelayanannya sebagai Pendeta di tahun 80-an, hanya lima orang Pendeta se Kota Manado yang sudah memiliki kendaraan sendiri. Pertumbuhan ekonomi Gereja Masehi Injili di Minahasa sangat luar biasa, kata Rindengan menyikapi hal tersebut. “Seharusnya sebagai warga GMIM, kita harus kagum dan syukuri. “Orang yang memberi diri kepada Allah, member diri kepada pelayanan tidak sia-sia. Siapa berkorban untuk Allah, pasti Allah akan berkorban bagi dirinya,” kata Rindengan.
Rindengan yang sempat belajar di Suara Nubuatan Advent Bandung di Tikala Manado mengungkap, panggilan untuk melayani dialaminya pada tahun 1966. “Setelah berkonsultasi dengan Guru Agama Wellem Karinda yang melayani di Titiwungen, saya direkomendasikan belajar kepada guru Pontororing sebagai siswa pendengar kelas 2, sebelum saya melanjutkan study di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon,” pungkas Pdt. Em. Marthin Luther Rindengan, S.Th yang akrab dipanggil Buang.
(Penulis: Frangki Noldy Lontaan. Foto: Koleksi Pribadi MLR. Editor: Pdt. Janny Ch. Rende, M.Th)