GMIM.or.id – Terima kasih Tuhan Yesus. Itulah ungkapan yang disampaikan Pengurus KKP-GA GMIM usai pelaksanaan ibadah bersama KKP-GA se Sinode GMIM digelar pada Jumat, 9 Januari di kawasan wisata Batu Nona Resort Kema. Sebagai bentuk apresiasi, KKP-GA bersama BPMS GMIM memberikan piagam penghargaan kepada Wilayah Kema, Wilayah Airmadidi 1 dan 2 serta Wilayah Minawerot yang memfasilitasi konsumsi untuk pelaksanaan kegiatan ini. Selain itu KKP-GA dan BPMS GMIM memberikan piagam penghargaan kepada Fransiska ‘Etha’ Tuwaidan pemilik Batu Nona Resort Kema yang menjadi lokasi pelaksanaan ibadah syukur natal dan tahun baru tersebut. Pdt. Arthur Reinhard Rumengan, M.Teol, M.Pd.K yang menjadi khadim , lewat khotbahnya mengatakan: ”Mari memahami lebih dalam apa itu berkat yang sesungguhnya. Saat ini kita selalu menghubungkan berkat dengan kesejahteraan hidup. Berkat selalu dihubungkan dengan jauh dari sakit penyakit. Berkat selalu dihubungkan dengan mengalami pertolongan Tuhan. Semua yang indah selalu dihubungkan dengan berkat. Walaupun sesungguhnya kita mengalami berbagai hal yang tidak menyenangkan, dikecewakan, hal-hal yang membuat kita sakit bahkan hal-hal yang membuat kita berduka, tetapi itu adalah bagian dari penyertaan Tuhan dalam hidup orang-orang yang percaya kepada-Nya. “
Ketua KKP-GA Sinode GMIM Pdt. Thelma E. Kaunang, S.Th dalam sambutannya mengajak seluruh Pendeta dan Guru Agama untuk semakin kuat dalam menghadapi hambatan dan tantangan yang silih berganti menerpa dalam kehidupan keluarga serta dalam pelayanan. Tantangan pelayanan muncul dalam hubungan dan interaksi sebagai Pendeta dan Guru Agama dengan para Pelayan Khusus, keluarga para pelsus di jemaat.
Hal senada juga tergambar dari sambutan Ketua BPMS GMIM Pdt. DR.H.W.B. Sumakul. Untuk itu Pdt. Sumakul mengajak setiap keluarga dari Pendeta dan Guru Agama senantiasa membantu segala tugas pelayanan dengan dua kata kunci, yaitu “Karamba dan Ampibi.” Karamba menggambarkan tugas seorang Pendeta dan Guru Agama , yaitu “sebagai penjala jiwa ” untuk dimenangkan bagi Tuhan. Begitu juga dengan keinginan diri yang sering bertentangan dengan kehendak Allah, menjadikan diri “sebagai narapidana sorgawi” yang artinya adalah segala sesuatu yang dilakukan adalah menurut aturan Allah. Sedangkan Ampibi diibaratkan sebuah pesawat ampibi yang sedang terbang, dimana terdapat para Pendeta, Guru Agama dan keluarga yang menjadi“Pilot, Co-Pilot dan para kru lainnya serta penumpang” yang artinya ketika terjadi sesuatu
atau timbul masalah, setidaknya semua yang terkait dengan masalah tersebut sudah tahu mau diarahkan kemana perjalanan pelayanan ini sehingga tidak menimbulkan situasi yang semakin buruk, sebaliknya boleh teratasi dengan keputusan tepat.
(Penulis: Frangki Noldy Lontaan) (Foto: Frangki Noldy Lontaan) (Editor: Pdt. Janny Ch. Rende, M.Th)