gmim.or.id – Selain masalah narkoba, beberapa waktu lalu Ketua Komisi Pria/Kaum Bapa Sinode GMIM Pnt. Ir. Stefanus BAN Liow didampingi Ketua P/KB Jemaat Bethel Winangun Pnt. DR. Maxi Egeten bersama Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) Sulawesi Utara (Sulut), turut membahas masalah minuman keras di bumi nyiur melambai.
Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) Sulut Pdt. Billy Johanes angkat bicara terkait masalah minuman keras (miras) cap tikus. Ia mengungkap, dari data yang ada, Sulut menempati peringkat 5 nasional dimana miras menjadi pemicu utama masalah kriminal. “Yang membuat Sulut masuk ranking 5 karena miras. Bukan narkoba. Karena miras juga memiliki zat adiktif dan kecanduan. Jika data yang beredar sekarang justru menyebut bahwa narkoba menjadi pemicu utama tindakan kriminal, itu tidak benar. Jangan terjadi manipulasi data” terang Pdt. Billy.
Pdt. Billy Johanes memaparkan, data yang diperoleh bahwa miras masih menjadi pemicu utama hingga saat ini. “Ada kenaikan kasus dari sekitar 200 pada tahun 2015 menjadi 289 kasus tahun 2016. Selanjutnya diikuti dengan kasus orang mabuk sebanyak 174 kasus dengan tersangka sebanyak 533 orang, diikuti dengan miras disertai sajam 52 kasus dengan 70 tersangka,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Pnt. DR. Maxi Egeten menekankan pada proses penegakan hukum yang salama ini menjadi sorotan masyarakat dalam penyelesaian kasus oleh aparat berwenang. “Aspek penegakkan hukum dan hasil akhir dari penegakkan hukum itu tidak jelas. Ini sorotan tajam kepada pihak penegak hukum, agar komit dan tegas. Saya kira kalau upaya penegakkan hukum ini dijalankan lebih efektif, paling tidak mengurangi kasus-kasus tadi. Untuk menyelamatkan generasi muda kita,” ungkap Egeten.
Sementara itu, Ketua Komisi P/KB Sinode GMIM Pnt. Ir. Stefanus BAN Liow mengatakan, masalah miras harus dilihat dari berbagai sudut pandang. “Kegiatan petani cap tikus di daerah tidak mendapat perlakuan baik. Selalu dikejar-kejar petugas karena usaha petani aren ini berhubungan dengan minuman keras dan tindak pidana. Tidak sedikit warga GMIM yang menggantungkan hidupnya sebagai petani captikus. Jika melarang produksi captikus, itu bukan solusi satu-satunya. Sebab, kegiatan ini sudah lama atau turun-temurun untuk menopang ekonomi dan kesejahteraan keluarga,” ungkap Liow.
“Pemerintah daerah siapkan program Pelatihan dan Tekonologi. Agar alkohol dari pohon aren itu tidak hanya diolah menjadi cap tikus. Bisa menjadi alkohol untuk medis, energy misalnya. Atau sumber energi untuk dijadikan bahan bakar alternatif setelah diolah,” pungkas Liow.
(Penulis dan Foto: Frangki Noldy Lontaan. Editor: Pdt. Janny Ch. Rende, M.Th)