Secara historis ada tiga hari raya gerejawi utama, yaitu Paskah, Pentakosta dan Natal, namun hari raya ini berasal dari dua tradisi yang berbeda. Paskah dan Pentakosta berasal dari tradisi Yahudi, sementara Natal yang dirayakan pada 25 Desember berasal dari tradisi Romawi. Selain itu ada pula tradisi dari Mesir – yang berasal dari abad ke-3 – yang merayakan Natal Yesus Kristus pada setiap tanggal 6 Januari. Tradisi ini tetap dipelihara oleh gereja-gereja Timur (yang lebih dikenal sebagai gereja-gereja Ortodoks) hingga kini dan dikenal dengan nama Epifania yang berarti penampakan diri, hal kedatangan, hal kelihatan. Kata epifania muncul, misalnya, dalam Injil Yohanes 2:1: “Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya.“
Epifania
Bagi gereja Timur, Epifania menandai permulaan pelayanan Yesus, mulai dari pembaptisan-Nya di Sungai Yordan, dan bukan melulu kelahiran-Nya. Oleh karena itu tema-tema Epifania mencakup kisah kelahiran Yesus (Luk. 2:1-20; Mat. 1:18-2:12), kisah baptisan yang diterima Yesus sebagai permulaan pelayanan-Nya (Mrk. 1:9-11), kisah mujizat pada perkawinan di Kana (Yoh. 2:1-11). Kisah-kisah tersebut dinilai penting oleh Gereja-gereja Timur karena lebih jauh merefleksikan manifestasi kehadiran Allah di tengah-tengah umat manusia dan dunia, bahkan jauh lebih penting ketimbang kisah kelahiran Yesus itu sendiri (Rachman 2003:109-110).
Tradisi perayaan Natal dari Mesir ini lebih tua dari tradisi Romawi (Rachman 2003:114). Bahkan perayaan Adven – yang kemudian menjadi Minggu-minggu Adven – lahir sebagai persiapan untuk merayakan Natal menurut tadisi dari Mesir ini (6 Januari) (lihat lebih lanjut Rachman 2003:107-116, dan McGowan 2014:249 dst.). Bagi Gereja-gereja Timur, Epifania adalah perayaan yang penting, sama pentingnya dengan perayaan Paskah. Gereja-gereja Barat juga merayakan Epifania pada 6 Januari, namun tidak semeriah perayaan Natal pada 25 Desember. Bahkan banyak gereja Reformasi – termasuk GMIM – sama sekali tidak memperingati Epifania.
Masa Adven
Masa persiapan ini disebut adven (dari kata Latin adventus artinya kedatangan, pendekatan, hal mendekati, hal menyongsong). Adventus adalah kata Latin yang sepadan dengan kata Yunani parousia, yang lazim dipakai untuk menunjuk pada kedatangan Kristus kembali. Menurut tradisi yang berkembang di Spanyol dan Galia pada abad ke-4 masa Adven berlangung selama tiga pekan sejak tanggal 17 Desember hingga perayaan Epifania pada 6 Januari. Di kemudian hari, masa Adven ini diperpanjang menjadi 40 hari. Seperti halnya pada masa pra-Paskah, masa Adven ini adalah juga masa puasa bagi umat untuk mempersiapkan diri merayakan Epifania.
Semula masa menyongsong atau Adven ini tidak ada dalam liturgi gereja Roma, melainkan hanya dalam liturgi gereja di Spanyol dan di Galia. Baru nanti setelah Natal mulai dirayakan oleh gereja Barat pada abad ke-4, masa Adven pun mulai dirayakan oleh gereja Roma (Abineno 1985:9-10). Namun, bagi gereja Roma masa Adven berakhir pada tanggal 24 Desember, sehingga lama Minggu-minggu Adven tidak lagi 40 hari, melainkan hanya mencakup empat hari Minggu sebelum hari Natal (Rachman 2003:113). Begitulah perayaan empat Minggu Adven memasuki tradisi gereja Barat dan kemudian diadopsi juga oleh gereja-gereja Reformasi atau Protestan, termasuk GMIM sekarang.
Dalam tradisi teologi Protestan, empat Minggu Adven dalam kalender gerejawi pada dasarnya hendak menggarisbawahi sifat ganda dari penantian, yaitu penantian akan ketibaan (adventus) Yesus Kristus dan penantian akan kedatangan-Nya kembali pada akhir zaman. Setiap hari Minggu Adven mengemukakan satu tema tertentu. Minggu Adven I: Yesus masuk ke Yerusalem; Minggu Adven II: Kedatangan kembali (parousia/adventus) Kristus; Minggu Adven III: Yohanes Pembaptis; Minggu Adven IV: Maria.
Hari Natal Yesus Kristus
Menurut tradisi, Gereja Roma mulai merayakan Natal pada 25 Desember sejak abad ke-4, tepatnya sejak tahun 336 sebagai pengganti perayaan hari kelahiran Sang Surya Tak Terkalahkan (dies natalis deus invicti) yang sudah lazim dirayakan dalam kekaisaran Romawi pada tanggal yang sama. Sejak Konstantin menjadi kaisar agama Kristen mulai mendapat tempat istimewa dalam kekaisaran Romawi, sekali pun masih bercampur-aduk dengan peribadatan Sol atau dewa matahari (lihat juga uraian Nothaft 2013:247-265).
Teks Maleakhi 4:2 dijadikan rujukan bahwa Kristus adalah “surya kebenaran“ dan oleh karena itu layaklah Ia mengantikan deus invicti. Teks lain yang juga mendukung adalah Yohanes 8:12 – “Akulah terang dunia“ – yang didasarkan pada Yohanes 1:9 – “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia“ – turut berperan memenangkan Surya Kebenaran (Sol Iustitiae) atas Surya Tak Terkalahkan (Sol Invictus) (Rachman 2003:125; bdk. McGowan 2014:249 dst.).
Masa Raya Natal di GMIM
Di lingkungan GMIM masa raya Natal tidak terlepas dari kegiatan yang lama disebut ibadah “Pohon Terang,“ yaitu peribadatan menyongsong perayaan Natal. Entah sejak kapan tradisi ini dilakukan di Minahasa. Yang pasti, tradisi ini diambil alih dari kebiasaan orang Eropa, khususnya dari tradisi bangsa Germania, yang kemudian telah mengalami inkulturasi menjadi tradisi Kristiani yang dikaitan dengan perayaan Natal Yesus Kristus (Rößiger 2012). Keteguhan Kristus diasosiasikan dengan pohon cemara yang adalah simbol daya hidup yang tak pernah pudar, simbol ketegaran serta keabadian, seperti halnya pohon ini tetap hijau bahkan di tengah musim dingin membeku sekali pun. Sementara semua dedauan hijau berubah menjadi coklat dan akhirnya gugur akibat suhu yang perlahan melapaui titik beku menurut peralihan musim, pohon cemara tetap hijau sepanjang waktu (evergreen).
Pada masa kolonial tradisi pohon Natal ini dibawa oleh orang Belanda ke Indonesia, termasuk ke Minahasa. Kendati asing bagi masyarakat yang tidak mengenal musim dingin, tradisi pohon Natal ini kini telah menjadi bagian dari tradisi lokal. Kini pohon Natal – walaupun sebagai besar adalah pohon plastik dan kertas – dijumpai di hampir setiap rumah warga jemaat GMIM pada masa raya Natal. [Kini pohon Natal yang dipajang di rumah-rumah bukan hanya berwarna hijau, yang menandakan keabadian (evergreen), melainkan sudah berwarna-warni; ada yang seluruhnya putih, bahkan ada pula yang merah. Mungkin dibutuhkan pemaknaan baru bagi warna-warna lain ini!]
Kehadiran Pohon Natal berhias lampu warna-warni dan hiasan lainnya juga merupakan ciri setiap ibadah “Pohon Terang.“ Ciri lain adalah lagu “Malam Kudus“ yang mengiringi pemasangan lilin secara bergiliran dan lagu “Muliakanlah“ yang biasanya dinyanyikan di akhir ibadah. Di tahun 1980-an di Minahasa, ibadah “Pohon Terang“ mulai menjadi acara komunitas Kristen di luar gereja. Hampir setiap organisasi, perkumpulan maupun instansi yang di dalamnya ada umat Kristiani, mengadakan ibadah Pohon Terang. Salah satu ciri khas ibadah yang sudah bersifat komunal ini adalah unsur Pesan Natal yang biasanya diisi oleh kepala atau ketua organisasi, perkumpulan atau instansi yang bersangkutan tanpa memandang agama mereka. Pada masa itu Pesan Natal pada ibadah Pohon Terang komunal ini menjadi salah satu ciri toleransi antar umat beragama di daerah ini.
Sejak sekurangnya sepuluh hingga lima belas tahun terakhir ini ibadah Pohon Terang yang dilaksanakan di dalam wilayah pelayanan GMIM lebih cenderung disebut ibadah pra-Natal atau ibadah menyongsong Natal.
Sering kurang disadari bahwa dalam urutan kalender gerejawi, ibadah-ibadah Pohon Terang – atau yang telah disebut dengan nama lain ini – diadakan bertumpang tindih dengan perayaan Minggu-minggu Adven yang merupakan awal kalender gerejawi atau tahun gereja. Kebiasaan ini berakibat pada terjadinya tumpang tindih antara tema-tema perayaan Minggu-minggu Adven dengan tema-tema perayaan Natal Yesus Kristus. Namun kenyataan ini tidak terhindarkan lagi. Malahan, dengan tumpang tindih ini sebenarnya di lingkungan GMIM telah lahir satu tradisi baru yang tidak secara ketat membedakan Minggu-minggu Adven dari perayaan Natal itu sendiri. Dan tradisi ini dapat disebut ciri khas GMIM. Karena itu tidak ada salahnya juga untuk menghidupkan kembali istilah Pohon Terang bagi semua peribadatan pra-Natal atau menyambut Natal di luar ibadah-ibadah pada empat hari Minggu Adven. Sehingga bagi GMIM, masa raya Natal yang diawali dengan hari Minggu Adven I dan berakhir pada hari Natal 25 dan 26 Desember dapat pula disebut Masa Raya Pohon Terang.
Citraland, 5 Desember 2016
Bacaan
Abineno, J.L.Ch., Pemberitaan Firman pada Hari-hari Raya Gerejawi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985)
Nothaft, C. Philipp E., “Early Christian Chronology and the Origins of the Christmas Date: In Defense of the ‘Calculation Theory’” dalam QL 94 (2013), hlm. 247-265.
McGowan, Andrew B., Ancient Christian Worship: Early Church Practices in Social, Historical and Theological Perspective (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2014)
Rachman, Rasid, Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003)
Rößiger, Monika, „ Der erste Weihnachtsbaum stand im Zunfthaus,“ ZeitOnline, 25 Desember 2012 (http://www.zeit.de/wissen/geschichte/2012-12/geschichte-weihnachtsbaum)
(Penulis : Pdt. David H. Tulaar | Editor: Pdt. Janny Ch. Rende, M.Th)